Kamis, 13 Maret 2008

Jihad: Melenyapkan Fitnah, Menebarkan Rahmah

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan supaya agama itu semata-mata hanya untuk
Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang
yang zalim (QS al-Baqarah: 193)
Perang, membalas serangan, meneror musuh, mungkin tidak berkenan di hati kebanyakan orang yang merasa
berperadaban. Yang menganggap semua kekerasan buruk, termasuk jihad.
Tak sedikit, umat Islam yang termakan propaganda itu. Takut dicap mengajarkan kekerasan, mereka pun mengingkari
disyariatkannya perang dalam Islam.Mereka seolah lupa, tidak setiap peperangan terkatagori kejahatan. Buktinya, tak
sedikit orang yang mereka gelari pahlawan adalah pelaku bahkan pemimpin perang. Mereka juga seolah menutup mata,
negara yang memprogandakan buruknya tindakan kekerasan, yakni Amerika dan sekutunya, justru tak henti melakukan
kekerasan, mengobarkan perang, dan menjadikan umat Islam sebagai sasarannya.
Pepatah Yunani mengatakan, si vis paceum para bellum. Untuk meraih kedamaian, harus bersiap perang.Allah Swt
mengetahui kecenderungan perasaan manusia yang membenci peperangan, melalui Firman-Nya, ''Diwajibkan kamu
berperang, padahal ia tidak kamu sukai. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah Maha Tahu, kamu tidak tahu apa-apa.'' (Q.s. Al-Baqarah 216).
Di sejumlah ayat lain, Allah Swt mempersilakan umat Islam untuk me-ngerahkan segala daya upaya guna menggempur
musuh, membalas perla-kuan yang setimpal, dan menimbulkan ketakutan di pihak lawan. Di Bulan Ramadhanpun, Allah
Swt mengijinkan kaum mus-limin melayani perang yang dilancarkan kaum kafir.Agar tidak terjerumus dalam propaganda
menye-satkan, ada baiknya kita mengkaji ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan disyariatkannya pepe-rangan beserta
tujuannya. Di antaranya adalah firman Allah Swt dalam QS al-Baqarah 193.
Melenyapkan Kekufuran
Dalam ayat itu Allah Swt berfirman: wa qâtilûhum hattâ lâ takûna fitnah (dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada
fitnah lagi). Kata al-qitâl dalam bahasa Arab tidak memiliki makna lain kecuali perang fisik. Sementara dhamir hum
(mereka), menurut sebagian besar mufassir adalah kaum musyrik. Dengan demikian, ayat ini merupakan perintah
terhadap kaum Muslim untuk memerangi kaum musyrik.
Kewajiban tersebut bukan hanya ketika umat Islam diperangi (defensif) sebagaimana ditetapkan dalam QS al-Baqarah:
190. Perang itu tetap diwajibkan sekalipun kaum musyrik tidak memerangi kaum Muslim terlebih dahulu (ofensif).
Demikian penjelasan al-Qurtubi tentang ayat ini dalam tafsirnya al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân. Pendapat tersebut amat tepat.
Sebab, dalam ayat ini disebutkan hattâ lâ takûna fitnah (hingga tidak ada fitnah lagi). Jika ghâyah (batas akhir) dari perang
ini adalah fitnah, maka selama fitnah itu masih ada, perang wajib terus dilancarkan.
Secara bahasa, kata al-fitnah berarti al-ikhtibâr wa al-imtihân (cobaan dan ujian). Namun dalam ayat ini, kata al-fitnah
berarti syirik. Demikian penafsiran Qatadah, Mujahid, al-Sudi, Ibnu Abbas, dan al-Rabi', sebagaimana dikutip al-Thabari
dalam tafsirnya Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân. Juga, al-Baidhawi, al-Syaukani, al-Baghawi, al-Nasafi, al-Jazairi, al-
Zamakhsyari, Ibnu Katsir, dan Alusi dalam kitab-kitab tafsir mereka. Al-Qurthubi dan Ibnu Zaid memaknainya lebih luas.
Kata fitnah diartikan kekufuran.
Sihabuddin al-Alusi, dalam tafsirnya Rûh al-Ma'âni menegaskan, penafsiran ini dikukuhkan dengan QS al-Fath: 16 yang
memberikan hanya dua pilihan bagi kaum musyrik Arab: masuk Islam atau pedang. Dalam ayat itu Allah Swt berfirman:
tuqâtilûnahum aw yuslimûn (kamu akan memerangi mereka atau mereka masuk Islam).
Patut dicatat, ketentuan itu hanya berlaku bagi kaum musyrik Arab. Sementara kaum musyrik non-Arab, mereka masih
diberikan alternatif lain, yakni menjadi kafir dzimmi. Ali bin Abi Thalib berkata, "Rasulullah saw menulis kepada Majusi
Hijr mengajak mereka masuk Islam. Barangsiapa yang masuk Islam, diterima darinya. Barangsiapa yang tidak (masuk
Islam), diambil jizyah darinya. Namun dagingnya tidak dimakan dan wanitanya tidak dinikahi (HR Abu Ubaid).
Ketentuan yang sama juga diterapkan pada kaum Ahli Kitab. Perang tidak boleh dilancarkan kepada mereka jika mereka
memilih satu dari dua pilihan: masuk Islam atau menjadi kafir zhimmi. Ketentuan ini didasarkan firman Allah Swt dalam
QS al-Taubah: 29.Kalimat hattâ yu'tû al-jizyah (sampai mereka membayar jizyah) dalam ayat tersebut menunjukkan,
perang harus dihentikan jika mereka bersedia memberikan jizyah dan disertai dengan sikap tunduk terhadap hukum
Islam. Di samping itu, terdapat nash-nash lain yang menetapkan tidak adanya paksaan dalam memasuki agama Islam,
seperti QS al-Baqarah: 256. Itu artinya, mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam. Dengan demikian, fitnah baru tidak
ada jika kaum kafir memilih salah satu dari dua alternatif: meninggalkan kekufurannya atau menjadi kafir dzimmi.
Menegakkan Syariat IslamSelanjutnya Allah Swt berfirman: wa yakûna al-dîn liLlâh (dan supaya agama itu semata-mata
hanya untuk Allah). Maksud kata al-dîn adalah Islam. Demikian penjelasan al-Samarqandi dalam kitab tafsirnya Bahr al-'Ulûm. Sehingga ketika dinyatakan al-dîn liLlâh, berarti yang ada hanya Islam. Tidak ada tempat bagi kekufuran dan
kemusyrikan.Menurut Fakhruddin al-Razi, dalam tafsirnya al-Tafsîr al-Kabîr, frasa ini untuk memperkokoh frasa
sebelumnya. Bahwa perang yang diwajibkan itu tidak hanya melenyapkan kekufuran, namun juga menggantikan
keberadaannya dengan tegaknya Islam.
Jika dikaitkan dengan penjelasan frasa sebelum-nya, keadaan itu tidak ber-arti mereka semua harus orang masuk Islam.
Na-mun yang harus berlaku dalam sistem kehidupan adalah Islam. Secara indi-vidual, mereka diperbo-lehkan tetap
memeluk agamanya. Mereka juga diperbolehkan melakukan berbagai kegiatan yang bersifat privat. Seperti tata cara
peribadatan, ketentu-an makanan dan minum-an, pakaian yang dikena-kan, prosesi pernikahan, dan semacamnya.
Dalam berbagai kegiatan itu mereka bebas mengikuti ketentuan agamanya.
Namun jika sudah me-nyangkut tatanan kehidu-pan dalam bermasyarakat dan bernegara, seperti sistem pemerintahan,
sis-tem ekonomi, strategi pen-didikan, sistem pidana, politik luar terhadap sis-tem Islam mereka harus tunduk dengan
hukum Islam. Sebab, hukum Islamlah yang diberla-kukan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga,
semua rakyat harus mentaatinya, muslim atau nonmuslim. Itulah ditetapkan Rasulullah saw dan al-khulâfa' al-râsyidûn
serta khalifah-khalifah sesudahnya.
Jika Mereka Berhenti
Dalam bagian akhir ayat ini, Allah Swt berfirman: fa in [i]ntahaw falâ udwâna illâ 'alâ al-zhâlimîn (jika mereka berhenti, maka
tidak ada permusuhan, kecuali terhadap orang-orang yang zalim). Makna kata intahaw (berhenti) tidak bisa dilepaskan
dari frasa-frasa sebelumnya. Al-Qurtubi menyatakan, mereka bisa dinyatakan 'berhenti' jika mereka memeluk Islam atau
membayar jizyah. Jika itu yang dilakukan, mereka tak boleh lagi diperangi. Sebaliknya, jika mereka menolak dua
alternatif tersebut, berarti mereka telah berbuat zhalim. Tak ada balasan yang adil terhadap orang zhalim seperti ini
kecuali harus mendapatkan hukuman setimpal, yakni perang.

0 komentar: